Kamis, 18 Agustus 2016

Sejarah Desa Beusi

Pada pertengahan abad ke-XV tepatnya tahun 1404 M berdirilah desa yang berlokasi dipinggir sungai Cikeruh bernama desa Leuwitingting di bawah Kesultanan Cirebon.
Di desa Leuwitingting ini dikepalai oleh seorang Raden bernama H.Jafar Sidiq yang memerintah mulai tahun 1404 sampai tahun 1440 (36 tahun).
Pada waktu itu beliau disebut kuwu dan untuk menjalankan pemerintahannya mengangkat seorang lebe yang merupakan pamannya sendiri yang bernama Maryam dan juga mengangkat beberapa lurah.
  • Sebelah Timur berbatasan dengan Plered
  • Sebelah Utara berbatasan dengan Pinggan
  • Sebelah Barat berbatasan dengan Pajagan
  • Sebelah Selatan berbatasan dengan Patuanan
Selama memerintah 36 tahun desa Leuwitingting dalam keadaan subur makmur Gemah Ripah Loh Janawi.
Pada saat itu penduduk desa Leuwitingting menganut berbagai macam agama seperti islam, budha, hindu, bahkan animisme. Disinilah peran kuwu Raden H. Jafar Sidiq untuk syi’ar agama islam.
Guna mempermudah penyebaran agama islam, beliau membuat bedug yang terbuat dari pohon sidagori yang suaranya menggema dan menarik perhatian rakyat Cirebon. Akhirnya terdengar pula oleh Gusti Sinuhun yang kemudian mengutus Syeh Bentong untuk meminta bedug tersebut. Permintaan tersebut dikabulkan oleh kuwu Leuwitingting dan bedug tersebut langsung dibawa ke keraton kasepuhan cirebon hingga kini masih ada dan diberi nama bedug Sidagori oleh Gusti Sinuhun.
Sekitar tahun 1440 terjadilah musibah hama (semacam wereng, tikus, sudep, dll) yang sangat ganas dan merusak tanaman baik padi maupun palawija. Hal ini didengar oleh Gusti Sinuhun Cirebon sehingga beliau segera datang untuk memberi bantuan dengan membawa obat-obatan (ukup, menyan, dll) untuk memberantas hama yang merajalela yang diangkut dengan sebuah kendaraan tradisional bernama pedati. Ditengah perjalanan antara kampung Kedongdong (sekarang Sukawera) dengan desa Leuwitingting, pedati tersebut masuk parit yang up dalam dan selip sehingga perjalanan beliau terhambat.
Kebetulan hal ini terjadi antara perjalanan kampung Kedongdong yang sekarang desa Sukawera dengan desa Leuwitingting, maka Gusti Sinuhun meminta bantuan kepada kuwu Leuwitingting untuk mengangkat pedati yang selip itu, namun secara kebetulan datanglah lurah Kedongdong yang bernama Kimertabumi.
Lurah Kimertabumi menawarkan niatnya kepada Gusti Sinuhun atas kesanggupannya mengangkat pedati tersebut dan Gusti Sinuhun merestuinya. Sesudah pedati itu diangkat ke jalan datanglah kuwu Leuwitingting kemudian Gusti Sinuhun menyerahkan obat-obatan untuk mengangkal hama sekaligus memberi gelar kuwu Leuwitingting yaitu Raden H. Jafar Sidiq atas jasa-jasanya dengan sebutan Pangeran Nalabaya yang artinya abdi negara juga dapat diartikan Nala yaitu surat dan Baya yaitu perjanjian sebagai abdi negara yang memegang surat perjanjian setiap menghadapi segala macam tantangan. Maka Gusti Sinuhun memberikan panji Macan Ali Lambang Bendera Cirebon serta memberi gelar kepada Lurah Kedongdong yaitu Kimertabumi menjadi Jiwantaka artinya orang yang berjiwa besar, taat dan patuh kepada pimpinan.
Selanjutnya Gusti Sinuhun memerintahkan kepada Kuwu Leuwitingting agar desanya dipindahkan ke atas Gandok agar tidak terkena musibah lagi. Akhirnya, kuwu Pangeran Nalabaya, Lebe Maryam dan para lurah serta masyarakat segera pindah keatas gandok.
Dibangunlah balai desa, mesjid hulu dayeuh, padepokan karapyak dan membuat sumur. Namun pada saat membuat sumur tiba-tiba menemukan lempengan-lempengan besi, maka sumur tersebut dinamakan sumur Beusi yang sampai sekarang masih dikeramatkan. Sehingga pangeran nalabaya, lebe maryam, para lurah dan tokoh agama, serta tokoh masyarakat sepakat untuk mengganti nama desa Leuwitingting menjadi desa Beusi.
Setelah selesai membangun desa yang baru Pangeran Nalabaya (kuwu Beusi) memanggil pamannya Lebe Maryam. Beliau berkata “Sehubungan dengan adanya wangsit bahwa saya harus menghadap Gusti Sinuhun, maka pemerintahan desa saya titipkan kepada paman untuk dilaksanakan dengan sebaik baiknya. Sebagai tanda kepercayaan untuk menjalankan tugas sebagai kuwu, saya berikan sumbul buk beserta isinya” disitulah terjadi yang dinamakan bewu singkatan dari Lebe dan Kuwu. Sejak itu pula kuwu Pangeran Nalabaya tidak pernah kembali lagi.
Setelah menjabat selama 8 tahun kuwu Maryam wafat dan dimakamkan di padepokan karapyak.
Pada tahun 1585 sampai tahun 1609 (24 tahun) terjadilah peperangan melawan penjajahan belanda yang disebut babad bantarjati pada masa jabatan kuwu Abas/Seyong dan kuwu Sanidin.
Pada tahun 1754 ketika dijabat oleh kuwu Santan desa beusi pindah dari hulu dayeuh ke blok kelenting dekat kampung pilang.
Pada tahun 1942 datanglah penjajah Dainipon/Jepang ketika dijabat oleh kuwu Parta Disastra. Desa Beusi pun dipindahkan secara paksa ke sebelah selatan dukuh huma dekat teletek 1 (kampung pesantren) dan teletek II (kampung entuk).
Pada tahun 1982 ketika kuwunya bernama Sutia Andon, desa Beusi dimekarkan karena penduduknya sudah sangat padat yaitu menjadi dua desa, yakni desa Beusi (induk) dan desa Gandawesi (pamekaran).
Pemerintah desa Beusi sampai sekarang sudah dijabat oleh 57 kuwu dan 4 pejabat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar