Pada waktu itu Raden H. Jafar Sidiq disebut Kuwu, dan untuk menjalankan pemerintahannya mengangkat seorang Lebe yang namanya Maryam yang merupakan pamannya sendiri serta beberapa Lurah. Selama memerintah 36 tahun Desa Leuwitingting dalam keadaan subur dan makmur Gemah Ripah Loh Jinawi. Penduduk Desa Leuwitingting memeluk bermacam-macam agama diantaranya Islam,Budha,Hindu bahkan Animisme. Disinilah peran Raden H.Jafar Sidiq untuk syiar islam. Untuk mempermudah penyebaran agama islam, beliau membuat bedug yang terbuat dari pohon sidagori yang suaranya menggema dan menarik perhatian rakyat Cirebon. Akhirnya terdengarlah oleh Gusti Sinuhun dan langsung mengutus seorang yang bernama Syeh Bentong untuk meminta bedug yang ada di desa Leuwitingting, maka dikabulkanlah oleh kuwu Leuwitingting dan langsung dibawa ke Keraton Kesepuhan Cirebon yang konon hingga kini masih ada dan diberi nama oleh Gusti Sinuhun yaitu Bedug Sidagori.
Pada waktu yang naas di desa Leuwitingting terjadi musibah hama yang sangat ganas dan merusak tanaman, baik padi maupun palawija. Hal ini didengar oleh Gusti Sinuhun Cirebon dan beliaupun segera datang untuk memberi bantuan kepada rakyat yang terkena musibah. Didalam perjalanannya beliau membawa semacam kendaraan tradisional yang namanya pedati untuk mengangkut obat-obatan seperti ukup,menyan dan lain-lain untuk memberantas hama yang merajalela. Ditengah perjalanan pedati yang membawa obat-obatan itu masuk parit yang cukup dalam dan pedatipin selip sehingga perjalanan beliau terhambat. Kebetulan hal ini terjadi antara perjalanan Kampung Kedongdong yang sekarang desa Sukawera dengan desa Leuwitingting, maka Gusti Sinuhun meminta bantuan kepada Kuwu Leuwitingting untuk mengangkat pedati yang selip itu, namu secara kebetulan datanglah Lurah Kedongdong yang bernama Kimertabumi. Lurah Kimertabumi menawarkan niatnya kepada Gusti Sinuhun atas kesanggupannya mengangkat pedati tersebut dan Gusti Sinuhun merestuinya. Sesudah pedati itu diangkat kejalan datanglah Kuwu Leuwitingting, kemudian Gusti Sinuhun menyerahkan obat-obatan untuk menangkal hama sekaligus memberi gelar kepada Kuwu Leuwitingting yaitu Raden H.Jafar Sidiq atas jasa-jasanya dengan sebutan Pangeran NALABAYA yang artinya abdi negara juga dapat diartikan NALA itu surat, BAYA itu perjanjian sebagai abdi negara yang memegang surat perjanjian siap menghadapi segala macam tantangan.
Selanjutnya Gusti Sinuhun memerintahkan Kuwu Leuwitingting agar desanya dipindahkan ke Alas Gandok sehingga tidak terkena musibah lagi. Akhirnya Kuwu Pangeran Nalabaya, Lebe Maryam, para Lurah dan masyaraktnya segera pindah ke Alas Gandok. Sedatangnya di Alas Gandok dibangunlah Balai Desa, Masjid d Hulu Dayeuh, Padepokan Karapyak dan membuat sumur. Namun pada saat membuat sumur tiba-tiba menemukan lempengan beusi, maka sumur tersebut dinamakan sumur beusi. Sekarang masih ada dan dikeramatkan. Sehingga Pangeran Nalabaya , Lebe Maryam, Para Lurah dan para Tokoh Agama serta Tokoh Masyarakat sepakat untuk mengganti nama desa dari Leuwitingting menjadi desa Beusi. Setelah selesai membangun desa yang baru, Pangeran Nalabaya memanggil pamannya Lebe Maryam. Beliau berkata “sehubungan ada wangsit bahwa saya harus menghadap Gusti Sinuhun, maka pemerintahan desa Beusi saya titip kepada paman Lebe agar dilaksankan sebaik-baiknya dan sebagai tanda kepercayaan untuk menjalankan tugas jadi Kuwu, saya berikan SUMBUL BUK beserta isinya” di situlah terjadi yang dinamakan BEWU yaitu singkatan dari Lebe dan Kuwu. Semenjak itu pula Kuwu Pangeran Nalabaya tidak kembali lagi. Bewu Maryam menjabat selama 8 tahun. Beliau wafat dan dimakamkamn di padepokan Karapyak.
Sekitar tahun 1585-1609 atau selama 24 tahun terjadi peperangan melawan penjajah Belanda yang disebut BABAD BANTAR JATI . Pada saat Kuwu Abas/Seyong dan Kuwu Sanidin Menjabat. Pada tahun 1754 yang di jabat Kuwu Santan Desa Beusi dari Hulu Dayeuh pindah ke blok Kalenting dekat Kampung Pilang.
Tahun 1942 datanglah penjajah Dainipon atau Jepang, saat itu Kuwunya bernama Parta Disastra. Desa Beusi dipindahkan secara paksa ke sebelah selatan Dukuh Huma dekat Telektek 1 (Kampung Pesantren),dan Telektek 2 (Kampung Entuk).Pada tahun 1982 yang Kuwunya bernama Sutia Andon desa Beusi dimekarkan menjadi dua Desa yaitu desa Beusi dan desa Gandawesi karena penduduknya sudah sangat padat.
Desa Beusi merupakan desa yang kaya akan kesenian, diantaranya yaitu Wayang Kulit, Pertunjukan Sampyong, Genjring, dan Reog Beusi. Akan tetapi kesenian yang masih bertahan sampai saat ini hanya Wayang Kulit, Pertunjukan Sampyong, dan Genjring. Reog Beusi telah punah karena tidak adanya kesadaran warga untuk meneruskan kesenian tersebut.
Di desa Beusi kesenian wayang kulit masih bertahan karena adanya seorang Dalang yang bernama Pak Kardama. Keluarga beliau secara turun temurun berprofesi sebagai Dalang. Beliau memiliki grup wayang kulit yang bernama Eka Marga Purwa yang sudah sering tampil di berbagai wilayah, seperti Cirebon, Indramayu, dan di Desa Beusi sendiri pada saat tradisi Mapag Sri (Pesta Panen). Genjring merupakan nama dari alat musik yang dimainkan oleh sekelompok orang diiringi alat musik lainnya. Jenis lagu yang biasa dimainkan adalah dangdut dan klasik. Di desa Beusi terdapat dua grup genjring yang ada di dusun Rabu dan dusun Entuk. Berikutnya pertunjukan sampyong, yaitu semacam pertunjukan bela diri yang lebih menonjolkan kekuatan tubuh terhadap lecutan cambuk. Sebelum para pemainnya melakukan pertunjukan Sampyong, mereka terlebih dahulu mandi di Sumur Beusi, dengan kepercayaan bahwa tubuh mereka akan menjadi kuat. Dahulunya Sampyong merupakan cara bagi penggambala untuk memperebutkan lahan menggembala ternak. Sekarang ini sampyong menjadi pertunjukan pada saat acara Pesta Panen yang dilakukan oleh 2 sampai 3 orang.
Selain kaya akan kesenian, Desa Beusi masih melestarikan berbagai tradisi, seperti Mapag Sri atau Pesta Panen, Sedekah Bumi atau biasa disebut Munjungan, Tabuh Kemong, dan Pancen. Mapag Sri merupakan acara yang dilakukan sebelum panen, tetapi karena keterbatasan biaya, Mapag Sri dilakukan sekaligus dengan acara Pesta Panen yang dilaksanakan setelah masa panen dimana masyarakatnya sudah memiliki penghasilan yang lebih mencukupi. Pesta Panen biasaya dilakukan saat bulan September hingga November. Pada acara ini diselenggarkan pagelaran wayang kulit dan pertunjukan sampyong. Para warga berkumpul untuk berdoa sebagai tanda syukur atas hasil panen, kemudian makan bersama. Berikutnya tradisi sedekah bumi atau yang sering disebut munjungan yaitu acara dimana para warga mengunjungi atau berziarah ke situs pemakaman yang dikeramatkan seperti di Buyut Karapyak dan Buyut Nambang. Tujuan acara ini adalah untuk bersilaturahim antar warga dan aparat desa, saling bertukar makanan dan berdoa bersama dengan harapan musim cocok tanamnya berhasil. Selanjutnya Tabuh Kemong merupakan tradisi menabuh kemong keliling desa untuk mengumumkan bahwa desa akan menyelenggarakan suatu acara. Kemudian Pancen merupakan tradisi membayar upeti bagi warga yang memiliki sawah kepada kuwu berupa 10 Kg gabah. Tradisi ini merupakan bentuk rasa terimakasih warga kepada kuwu karena telah memimpin mereka. Dahulunya cara tradisi ini berupa warga memberika gabah dan sebagai gantinya kuwu memberikan makanan yang kemudian dimakan bersama, sehingga terciptalah obrolan antara warga dan pemimpin. Hingga tradisi pancen masih ada namun caranya sedikit berubah, yaitu hilangnya makan dan mengobrol bersama.
Selain itu di Desa Beusi terdapat norma-norma yang masih berlaku di tengah-tengah masyarakat, diantaranya pamali keluar rumah menjelang maghrib, calon pengantin harus dipingit terlebih dahulu selama seminggu dan calon pengantin wanita diharuskan puasa mutih yaitu tidak boleh makan makanan yang memiliki aneka rasa. Di Desa Beusi juga terdapat keunikan dalam hal gaji kuwu yaitu hak untuk mengelola dan mengambil hasil dari sepetak tanah yang kepemilikannya hanya selama ia menjabat sebagai kuwu, yang selanjutnya akan diserahkan kepada kuwu berikutnya. Keunikan lainnya dari Desa Beusi yaitu penggunaan genteng sebagai pagar di halaman rumah. Hampir semua rumah di Beusi yang halaman rumahnya terdapat pagar dari genteng.
Kesenian wayang kulit merupakan kesenian yang menarik untuk dipelajari. Apalagi bagi beberapa dari kami yang berasal dari luar Jawa, belum mengenal wayang kulit secara mendalam. Oleh karena itu kami berkeinginan untuk belajar wayang kulit. Pada hari Sabtu, 16 Januari, kami berkesempatan melibatkan diri untuk belajar wayang bersama di kediaman Pak Dalang Kardama. Kami melihat berbagai macam tokoh wayang kulit, seperti Pandawa, Astina (Kurawa), Dagelan, dan lain-lain. Pak Kardama juga memperlihatkan cara memainkan wayang, terutama saat adegan bertarung. Berbagai alat yang digunakan untuk bertarung dalam pewayangan diantaranya kempala, gada, kerisan, dan panah. Meski sudah lanjut usia, Pak Kardama masih sangat lihai dalam memainkan wayang-wayang kulit tersebut. Beliau memiliki ratusan wayang, yang seluruhnya dapat beliau ingat dengan baik.
Menurut Pak Kardama, dalang wayang yang bertempat tinggal di Desa Beusi, dengan grup wayang kulitnya yaitu Eka Marga Purwa, wayang kulit berasal dari India, yaitu cerita Mahabarata. Tetapi di Indonesia, wayang menggunakan cerita dari para wali, yang terbagi menjadi dua:
- Krama Yoga, cerita ini biasa digunakan di wilayah Cirebon dan sekitarnya.
- Pustaka Raja Purwa, yang digunakan di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Bali.
Pa Kardama mendapat gelar dari Kasepuhan Cirebon pada tahun 2011, yaitu Surya Nata Prawa. Setiap malam satu Muharam, beliau melakukan pagelaran wayang kulit di Keraton Kasepuhan Cirebon. Menjadi dalang merupakan profesi turun-temurun dalam keluarga Pak Kardama. Kakek dan Ayah beliau merupakan dalang. Beliau memiliki penerus untuk menjadi dalang, yaitu putra sulungnya yang bernama Pak Mumun. Pak Kardama pernah melakukan pagelaran wayang di berbagai wilayah, seperti Cirebon, Indramayu, dan di Desa Beusi sendiri pada saat tradisi Mapag Sri (Pesta Panen). Pada setiap pagelaran wayangnya, Pak Kardama menggunakan bahasa Jawa, dan Sunda. Sedangkan saat pentas di Keraton Kasepuhan Cirebon, beliau khusus menggunakan bahasa Keraton (Kawi). Pak Kardama menyampaikan keinginannya untuk memiliki sanggar wayang kulit, tetapi terhambat oleh faktor biaya dan karena tidak adanya persatuan Dalang di Majalengka.
Di jaman ini, wayang kulit sudah mulai tidak diminati oleh generasi muda. Esensi menonton pertunjukan wayang pun sudah berbeda. Bukan ceritanya yang disukai, tapi justru musik dangdutnya atau sindennya. Dan cerita yang lebih disukanya pun merupakan cerita karangan, bukan cerita yang berasal dari kitab pewayangan.
Wayang kulit terbuat dari kulit kerbau yang sudah dibentuk dan diukir sesuai pola dan diberi warna, dengan gagang dari tanduk kerbau. Satu tanduk biasanya dapat dibuat menjadi dua gagang wayang.
Pagelaran wayang ini biasanya dipentaskan saat Munjungan, Mapag Sri (Pesta Panen), dan Ruwat (Pembersihan). Pagelaran ini berlangsung hingga subuh, diawali dengan Tetalu (pembukaan dengan musik) selama satu jam. Jadi, kesenian wayang kulit merupakan budaya yang menarik dan patut untuk kita lestarikan.
Kemudian kami juga tertarik untuk mengetahui tentang kesenian genjring yang ada di Dusun Rabu, Desa Beusi. Kami mengunjungi kediaman Pak Weweng Cahwan, salah seorang pemain genjring dalam grup Kombayana yang sudah berdiri selama 10 tahun. Kami mendapatkan banyak pengetahuan mengenai genjring dari beliau. Kesenian genjring merupakan nama dari alat musik yang dimainkan oleh sekelompok orang diiringi alat musik lainnya, diantaranya yaitu Bedugan, Gong, Kecrekan, dan Gitar. Jenis lagu yang biasa dimainkan adalah dangdut dan klasik. Dalam satu grup genjring terdiri dari 10 hingga 12 orang pemain. Grup genjring ini telah tampil di berbagai acara hajatan khitanan dan pada bulan Ramadhan melakukan ‘Obrog’, yaitu kegiatan keliling desa untuk membangunkan warga untuk sahur. Alat musik genjring terbuat dari kulit lembu, dan kayunya merupakan kayu dari pohon sawo. Sedangkan kecrekan terbuat dari kuningan. Kesenian genjring ini merupakan kesenian yang dilestarikan secara turun-temurun oleh keluarga Pak Weweng Cahwan dan sebagai generasi muda tentunya kami harus mencontoh hal baik tersebut.
Selain itu, kami juga tertarik untuk mengetahui lokasi kegiatan tradisi munjungan di laksanakan. Kamipun mengunjungi kediaman Pak Chandra selaku kepala dusun saptu dan pengurus DISPORABUDPAR untuk mencari informasi. Beliau bersedia mengantar kami ke tempat-tempat situs makam keramat yang ada di Desa Beusi. Munjungan yaitu acara dimana para warga mengunjungi atau berziarah ke situs pemakaman yang dikeramatkan seperti di Buyut Karapyak dan Buyut Nambang. Tujuan acara ini adalah untuk bersilaturahim antar warga dan aparat desa, saling bertukar makanan dan berdoa bersama dengan harapan musim cocok tanamnya berhasil. Upacara ini dilaksanakan sekitar bulan September hingga November. Kami diantar ke tempat Buyut Karapyak yang sekarang wilayahnya masuk Desa Gandawesi. Akses jalan menuju lokasi hanya berupa jalanan setapak di tengah-tengah pesawahan. Meski cuaca di perjalanan terasa panah, tetapi saat memasuki kawasan pemakaman Buyut Karapyak udara terasa sejuk dan tempat ini memiliki pekarangan yang cukup luas. terdapat banyak tumbuhan besar yang membuat pemakaman tampak teduh, ditambah lagi adanya aliran air yang mengalir di belakang area pemakaman.
Setelah itu kami diajak melihat kawasan Sumur Beusi, yang menurut sejarah merupakan asal-muasal nama Desa Beusi karena ditemukannya lempengan besi di dalam sumur tersebut yang konon katanya masih ada hingga saat ini. Air di dalam sumur tersebut penuh, jernih, dan sejuk. Kawasan sumur yang dikeramatkan ini tidak begitu luas, tetapi memiliki pondok untuk berteduh. Air dari sumur ini biasa digunakan untuk mandi oleh para pemain Sampyong sebelum pertunjukan Sampyong karena dipercaya dapat memperkuat tubuh mereka. Kemudian kami diantar menuju kawasan makam Buyut Nambang yang berada di dusun Entuk. Kawasan ini cukup luas dan terawatt. Oleh sang kuncen lahannya ditanami berbagai tanaman seperti cabai dan ubi. Menurut Pak Kuncen, profesi sebagai kuncen merupakan profesi turun-temurun, dimana tugasnya adalah merawat dan membersihkan kawasan pemakaman tersebut secara rutin tiap hari Jum’at atau di waktu senggang. Selanjutnya kami diajak melihat lokasi tuk air atau sumber air yang menjadi asal-muasal nama Dusun Entuk. Sumber air ini dulunya digunakan untuk berbagai keperluan sehari-hari, namun sekarang hanya digunakan untuk pengairan sawah.
Tradisi dan kesenian di Desa Beusi ini merupakan warisan budaya yang masih dilestarikan keberadaannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar